Koto, Keindahan di Tengah Hiruk-Pikuk GIIAS 2015
BSD CITY, 28 Agustus 2015 -- Ada sebuah keindahan yang terselip di antara hiruk-pikuk pelaksanaan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2015. Permainan musik tradisional Jepang, Koto, yang dibawakan oleh dua gadis cantik menghibur pengunjung booth Lexus Indonesia, Jumat (28/8).
Di dalam ruangan sekitar 600 m2 Anda bisa menikmati setiap dentingan Koto yang dipetik oleh jari-jari manis Mitsuko Takayanagi dan Mio Ishuzu. Alat musik Jepang ini sangat mirip dengan alat musik tradisional Indonesia, kecapi. Dentingannya pun nyaris identik.
Koto terbuat dari kayu Paulownia atau Kiri yang dilubangi dalamnya. Senar atau dawainya berjumlah 13 dan terdiri dari 5 tangga nada. Alat musik ini masuk ke Jepang pada abad ke-7 dan dulu hanya dimainkan di istana kekaisaran saja. Pada abad ke-17 Koto mulai populer dan sejak itu lahir maestro-maestro Koto.
“Saya sudah memainkan alat musik ini selama 18 tahun. Saya belajar alat musik ini sejak masih sekolah menengah pertama,” ujar Mitsuko Takayanagi, instruktur Jakarta Koto Club dan juga bekerja di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
“Waktu itu saya ingin melestarikan budaya Jepang, di tengah-tengah serbuan budaya pop. Dan saya mencintai Koto. Alat musik ini mengutamakan unsur kesempurnaan. Kami harus memetiknya secara berirama untuk menghasilkan nada-nada yang indah,” ujar Takayanagi dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah.
Permainan alat musik ini sebenarnya bisa dibawakan oleh satu orang, dan di Jepang pada umumnya dibawakan oleh perempuan. Namun, untuk mencapai kesempurnaan harmoni dan mengingat cukup luasnya ruang di booth Lexus, alat musik dibawakan oleh dua orang sehingga dentingannya bisa memenuhi ruangan. Musik ini tidak tampil setiap hari, hanya setiap akhir pekan saja.
EKA ZULKARNAIN
Di dalam ruangan sekitar 600 m2 Anda bisa menikmati setiap dentingan Koto yang dipetik oleh jari-jari manis Mitsuko Takayanagi dan Mio Ishuzu. Alat musik Jepang ini sangat mirip dengan alat musik tradisional Indonesia, kecapi. Dentingannya pun nyaris identik.
Koto terbuat dari kayu Paulownia atau Kiri yang dilubangi dalamnya. Senar atau dawainya berjumlah 13 dan terdiri dari 5 tangga nada. Alat musik ini masuk ke Jepang pada abad ke-7 dan dulu hanya dimainkan di istana kekaisaran saja. Pada abad ke-17 Koto mulai populer dan sejak itu lahir maestro-maestro Koto.
“Saya sudah memainkan alat musik ini selama 18 tahun. Saya belajar alat musik ini sejak masih sekolah menengah pertama,” ujar Mitsuko Takayanagi, instruktur Jakarta Koto Club dan juga bekerja di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
“Waktu itu saya ingin melestarikan budaya Jepang, di tengah-tengah serbuan budaya pop. Dan saya mencintai Koto. Alat musik ini mengutamakan unsur kesempurnaan. Kami harus memetiknya secara berirama untuk menghasilkan nada-nada yang indah,” ujar Takayanagi dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah.
Permainan alat musik ini sebenarnya bisa dibawakan oleh satu orang, dan di Jepang pada umumnya dibawakan oleh perempuan. Namun, untuk mencapai kesempurnaan harmoni dan mengingat cukup luasnya ruang di booth Lexus, alat musik dibawakan oleh dua orang sehingga dentingannya bisa memenuhi ruangan. Musik ini tidak tampil setiap hari, hanya setiap akhir pekan saja.
EKA ZULKARNAIN
Featured Articles
- Latest
- Popular
Artikel yang mungkin menarik untuk Anda
Mobil Pilihan
- Latest
- Upcoming
- Popular
Updates
New cars
Drives
Review
Video
Hot Topics
Interview
Modification
Features
Community
Gear Up
Artikel Mobil dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Advisory Stories
- Road Test
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature