Memprihatinkan, Rio Haryanto Terancam Tak Lanjut di F1
JAKARTA, 25 Juli 2016 – Sungguh memprihatinkan, pembalap F1 penuh talenta asal Indonesia Rio Haryanto terancam tak bisa mengikuti balapan di ajang puncak Motorsport tersebut selama satu musim penuh. Permasalahannya terletak pada finansial karena pihak Rio tak bisa menyetorkan sisa biaya balapan sebesar 7 juta euro dari total biaya 15 juta euro kepada tim Manor Racing.
Seperti diketahui bahwa untuk bisa membalap di F1 bersama tim Manor Racing selama semusim penuh, pihak Rio Haryanto harus menyetorkan dana total sebesar 15 juta euro. Yang baru disetorkan adalah 8 juta euro, di mana 5 juta euro dari pihak Pertamina sebagai sponsor utama Rio Haryanto dan sisanya sebesar 3 juta euro dari pihak keluarga Rio. Dan sampai balapan di GP Hungaria hari Minggu (24/7) kemarin belum ada kejelasan tentang penyetoran sisa dana yang mesti diberikan kepada tim.
Pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menyatakan sudah ‘angkat tangan’. Mereka meminta maaf karena sudah berusaha secara maksimal namun belum ada pihak yang memberikan sponsor lagi. Kalau sudah begini, sulit bagi Rio untuk membalap selama satu musim. Padahal, balapan berikutnya di GP Jerman di Sirkuit Hockenheim sebagai putaran ke-12 tinggal 4 hari lagi yaitu pada hari Jumat (28/4). Jadi waktu sangatlah krusial.
Kita sebagai pecinta otomotif dan motorsport tentunya sangat prihatin dengan kondisi ini. Ada seorang pembalap bertalenta, seorang anak bangsa yang telah mengasah karir dan prestasinya dari titik nol hingga menjadi pembalap mendunia, tersia-siakan begitu saja. Saya beranggapan, jika hal ini terjadi akan memiliki dampak viral yang buruk bagi pembibitan atlet-atlet berprestasi, khususnya di motorsport. Kepercayaan terhadap pemerintah atau negara untuk mendorong atlet-atlet berprestasi di bidangnya menjadi merosot.
Memang biaya yang dibutuhkan untuk membalap di F1 sangatlah besar, apalagi jika sudut pandang kita adalah jika biaya itu hanya diperuntukkan untuk seorang atlet. Apalagi jika ditambahi bahwa dengan biaya 15 juta euro (sekitar Rp 240 miliar), akan banyak cabang olahraga yang bisa digerakkan atau dihidupi daripada menghidupi seorang atlet balap di F1. Tidak ada yang salah dengan anggapan seperti itu.
Namun, hemat saya, cara berpikir kita di dalam memandang F1 bukan seperti itu. Setiap cabang olahraga memiliki dinamikanya masing-masing, begitu juga dengan F1. (Silahkan simak tulisan saya sebelumnya, “Mengapa Harus Rio Haryanto” Bagian 1 dan Bagian 2).
Jika memang beranggapan F1 itu terlalu mahal dan tidak sesuai dengan output yang dibutuhkan, silahkan saja hitung keuntungan dan kerugian jika menyeponsori pembalap nasional di F1. Saya bahkan berpikir, dengan tingkat eksposure F1 yang begitu tinggi, justru keuntungan positif yang kita bisa raup melebihi uang sponsorships yang diberikan kepada pembalap itu sendiri.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, keterlibatan negara/pemerintah sangat dibutuhkan di dalam mendorong cabang-cabang olahraga atau pun atlet-atlet nasionalnya untuk berkarier dan berkarya di kancah internasional. Dorongan itu baik secara moral atau pun material. Kita lihat saja bagaimana passionate-nya Malaysia menjadi tuan rumah F1 sekaligus menerjunkan pabrik pelat merahnya, Petronas, untuk menjadi mitra tim F1 papan atas McLaren Mercedes atau pun dengan tim Mercedes sekarang ini.
Contoh terbaru adalah negara Azerbaijan, yang baru merdeka di awal 1990-an dari genggaman Uni Soviet, untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah F1 musim 2016 yang baru lalu. Balapannya berlangsung 19 Juni lalu di sirkuit jalan raya di ibukota negara, Baku. Sirkuitnya diberi nama Baku City Circuit. Tentunya dengan biaya yang lebih mahal daripada membiayai seorang pembalap F1.
Kehadiran Rio Haryanto di F1 bisa dijadikan trigger untuk memacu para pembalap muda Indonesia khususnya, dan atlet-atlet lain pada umumnya, untuk berkompetisi di dalam presatasi. Selain itu bisa meningkatkan rasa percaya diri kita sebagai bangsa, bahwa kita juga bisa berbicara di kancah dunia yang sarat dengan teknologi canggih dan prestisius. Kita harus merasa miris karena dalam waktu 15 – 20 tahun ke depan belum tentu ada anak bangsa yang seperti Rio Haryanto.
Pemerintah (baca: negara) seharusnya memberikan kesempatan dan dukungan kepada Rio Haryanto untuk membuktikan diri di ajang F1. Jika memang Rio tidak mampu, seleksi alam yang akan berbicara. Toh, Rio sudah membuktikan diri membawa nama baik bangsanya di balapan-balapan sebelumnya yang mengantarkan dia ke F1.
Dengan adanya ketidakpastian nasib Rio, kita sebagai bangsa harusnya merasa sangat prihatin. Bahkan kalau meminjam istilah dari Moreno Soeprapto, mantan pembalap dan kini anggota DPR Komisi X, terancamnya nasib Rio merupakan kemunduran dunia otomotif nasional.
EKA ZULKARNAIN
Seperti diketahui bahwa untuk bisa membalap di F1 bersama tim Manor Racing selama semusim penuh, pihak Rio Haryanto harus menyetorkan dana total sebesar 15 juta euro. Yang baru disetorkan adalah 8 juta euro, di mana 5 juta euro dari pihak Pertamina sebagai sponsor utama Rio Haryanto dan sisanya sebesar 3 juta euro dari pihak keluarga Rio. Dan sampai balapan di GP Hungaria hari Minggu (24/7) kemarin belum ada kejelasan tentang penyetoran sisa dana yang mesti diberikan kepada tim.
Pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menyatakan sudah ‘angkat tangan’. Mereka meminta maaf karena sudah berusaha secara maksimal namun belum ada pihak yang memberikan sponsor lagi. Kalau sudah begini, sulit bagi Rio untuk membalap selama satu musim. Padahal, balapan berikutnya di GP Jerman di Sirkuit Hockenheim sebagai putaran ke-12 tinggal 4 hari lagi yaitu pada hari Jumat (28/4). Jadi waktu sangatlah krusial.
Kita sebagai pecinta otomotif dan motorsport tentunya sangat prihatin dengan kondisi ini. Ada seorang pembalap bertalenta, seorang anak bangsa yang telah mengasah karir dan prestasinya dari titik nol hingga menjadi pembalap mendunia, tersia-siakan begitu saja. Saya beranggapan, jika hal ini terjadi akan memiliki dampak viral yang buruk bagi pembibitan atlet-atlet berprestasi, khususnya di motorsport. Kepercayaan terhadap pemerintah atau negara untuk mendorong atlet-atlet berprestasi di bidangnya menjadi merosot.
Memang biaya yang dibutuhkan untuk membalap di F1 sangatlah besar, apalagi jika sudut pandang kita adalah jika biaya itu hanya diperuntukkan untuk seorang atlet. Apalagi jika ditambahi bahwa dengan biaya 15 juta euro (sekitar Rp 240 miliar), akan banyak cabang olahraga yang bisa digerakkan atau dihidupi daripada menghidupi seorang atlet balap di F1. Tidak ada yang salah dengan anggapan seperti itu.
Namun, hemat saya, cara berpikir kita di dalam memandang F1 bukan seperti itu. Setiap cabang olahraga memiliki dinamikanya masing-masing, begitu juga dengan F1. (Silahkan simak tulisan saya sebelumnya, “Mengapa Harus Rio Haryanto” Bagian 1 dan Bagian 2).
Jika memang beranggapan F1 itu terlalu mahal dan tidak sesuai dengan output yang dibutuhkan, silahkan saja hitung keuntungan dan kerugian jika menyeponsori pembalap nasional di F1. Saya bahkan berpikir, dengan tingkat eksposure F1 yang begitu tinggi, justru keuntungan positif yang kita bisa raup melebihi uang sponsorships yang diberikan kepada pembalap itu sendiri.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, keterlibatan negara/pemerintah sangat dibutuhkan di dalam mendorong cabang-cabang olahraga atau pun atlet-atlet nasionalnya untuk berkarier dan berkarya di kancah internasional. Dorongan itu baik secara moral atau pun material. Kita lihat saja bagaimana passionate-nya Malaysia menjadi tuan rumah F1 sekaligus menerjunkan pabrik pelat merahnya, Petronas, untuk menjadi mitra tim F1 papan atas McLaren Mercedes atau pun dengan tim Mercedes sekarang ini.
Contoh terbaru adalah negara Azerbaijan, yang baru merdeka di awal 1990-an dari genggaman Uni Soviet, untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah F1 musim 2016 yang baru lalu. Balapannya berlangsung 19 Juni lalu di sirkuit jalan raya di ibukota negara, Baku. Sirkuitnya diberi nama Baku City Circuit. Tentunya dengan biaya yang lebih mahal daripada membiayai seorang pembalap F1.
Kehadiran Rio Haryanto di F1 bisa dijadikan trigger untuk memacu para pembalap muda Indonesia khususnya, dan atlet-atlet lain pada umumnya, untuk berkompetisi di dalam presatasi. Selain itu bisa meningkatkan rasa percaya diri kita sebagai bangsa, bahwa kita juga bisa berbicara di kancah dunia yang sarat dengan teknologi canggih dan prestisius. Kita harus merasa miris karena dalam waktu 15 – 20 tahun ke depan belum tentu ada anak bangsa yang seperti Rio Haryanto.
Pemerintah (baca: negara) seharusnya memberikan kesempatan dan dukungan kepada Rio Haryanto untuk membuktikan diri di ajang F1. Jika memang Rio tidak mampu, seleksi alam yang akan berbicara. Toh, Rio sudah membuktikan diri membawa nama baik bangsanya di balapan-balapan sebelumnya yang mengantarkan dia ke F1.
Dengan adanya ketidakpastian nasib Rio, kita sebagai bangsa harusnya merasa sangat prihatin. Bahkan kalau meminjam istilah dari Moreno Soeprapto, mantan pembalap dan kini anggota DPR Komisi X, terancamnya nasib Rio merupakan kemunduran dunia otomotif nasional.
EKA ZULKARNAIN
Featured Articles
- Latest
- Popular
Artikel yang mungkin menarik untuk Anda
Mobil Pilihan
- Latest
- Upcoming
- Popular
Updates
New cars
Drives
Review
Video
Hot Topics
Interview
Modification
Features
Community
Gear Up
Artikel Mobil dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Advisory Stories
- Road Test
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature