FEATURE: Autonomous Car, Are We There Yet?
Pada lima belas tahun lalu, buat saya konsep self-driving atau autonomous vehicle sangat futuristik dan masih jauh dari realitas. Mungkin karena terlalu banyak menonton film science fiction, jadi saya beranggapan konsep itu hanya senyata The Jetsons – film kartun era 1960 sampai 1980-an yang menggambarkan masa depan.
Autonomous car memang menjadi bahan menarik untuk film dan buku futuristik sejak dulu. Lihat saja serial Knight Rider yang tayang di Indonesia pada 1990-an (di Amerika sendiri sudah ada sejak awal 1980-an). Pontiac Firebird Trans Am bernama KITT yang bisa diajak ngobrol menjadi mobil idaman di era itu. Atau film yang lebih baru, Avengers: Age of Ultron di scene terakhir ketika Audi R8 mengiringi Tony Stark saat sedang bicara dengan Captain America.
Melihat fenomena ini, rasanya tak berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa autonomous car merupakan obsesi umum. Berbagai usaha telah dan masih terus dilakukan untuk mewujudkannya. Eksperimen pertama yang tercatat terjadi tahun 1925 di New York, Amerika Serikat. Beberapa manufaktur seperti BMW, Audi, Volvo dan Tesla juga mengembangkan teknologi driveless system yang diterapkan di mobil-mobil mereka dan telah mencobanya di jalan raya. Bahkan perusahaan search engine seperti Google dan Baidu juga tak mau ketinggalan.
Sebetulnya, kendaraan modern sekarang ini sudah menjalankan beberapa porsi autonomous vehicle; misalnya lewat penerapan teknologi crash-warning system, adaptive cruise control, lane-keeping system dan self-parking technology. Sebagai kendaraan driverless nantinya, teknologi ini menawarkan ragam peluang yang meningkatkan kualitas kehidupan sosial.
Dalam 10 tahun belakangan, eksperimen terhadap self-driving car memang semakin gencar. Tak hanya itu, Kinetik -perusahaan venture capital untuk bidang usaha teknologi- menggandeng Formula E untuk mengadakan Roborace, seri balapan mobil tanpa pengemudi, tahun depan. Rencananya, Roborace akan menjadi pembuka setiap balapan Formula E. Dengan kata lain, mobil-mobil tanpa pengemudi yang dilengkapi teknologi robotik dan AI (Artificial Intelligent) tersebut akan berlaga di sirkuit-sirkuit yang menantang. Kabarnya, kecepatannya bisa lebih dari 300 km/jam!
Denis Sverdlov, pendiri Kinetik dan Roborace mengatakan, “Roborace merupakan perayaan akan revolusi teknologi dan inovasi yang telah dicapai manusia sejauh ini. Inilah bukti bahwa teknologi robotik dan AI dapat hadir dalam kehidupan nyata.”
Pernyataan Sverdlov sepertinya benar. The future is here, autonomous car sudah di depan mata. Chris Urmson, project director program Self-Driving Car Google, mengatakan mobil ini kemungkinan akan diluncurkan antara tahun 2017-2020. Dengan hadirnya self-driving car, waktu Anda tak terbuang saat perjalanan meski dalam kondisi macet. Anda tetap bisa membuka laptop, berkomunikasi dengan klien dan kerabat, atau bahkan tidur. Dan yang terpenting, perjalanan Anda akan jauh lebih aman.
Kematian akibat kecelakaan jalan sebanyak 1,2 juta setiap tahun di seluruh dunia. Di Amerika sendiri, 94% kecelakaan disebabkan oleh kelalaian manusia. Jika mobil dikendarai dengan teknologi robotik dan AI, maka kita menihilkan human error dan menurunkan secara drastis tingkat kecelakaan. Autonomous car menawarkan begitu banyak keuntungan. Tak ada alasan untuk tidak merangkul teknologi itu dan menerapkannya di dunia nyata. Benarkah?
Secanggih apa pun sebuah robot, ia tetaplah mesin yang tak memiliki emosi maupun kompas moral. Apa yang terjadi jika autonomous car menghadapi situasi seperti Trolley Dillema?
Misalnya sebuah autonomous car melesat dalam kecepatan tinggi. Tiba-tiba muatan truk di hadapannya tumpah ke jalan. Di sebelah kiri ada mobil dan sebelah kanan terdapat motor. Bukan pilihan sulit bagi pengemudi manusia, mereka akan banting setir ke kiri karena peluang untuk selamat lebih besar bagi penumpang mobil ketimbang motor. Tapi bagaimana dengan pilihan program autonomous car yang tak punya pertimbangan moral?
Secara teori, mungkin saja driveless car dibekali serentetan instruksi sebagai pengganti kompas moral demi meminimalisir kerugian. Tapi tetap saja tak mungkin menyamai manusia karena begitu banyak variabel untuk mengambil satu keputusan, seperti latar belakang calon korban (Keluarga? Catatan kriminal? Kontribusi terhadap masyarakat?). Masalah tak berhenti di sini. Jika terjadi korban jiwa akibat keputusan yang diambil oleh autonomous car, siapakah yang bertanggung jawab di mata hukum?
Etika bukan satu-satunya concern. Isu perentasan juga bisa menjadi masalah besar mengingat mobil ini digerakkan oleh sistem komputer secara penuh. Jonathan Petit, pimpinan sebuah perusahaan kemanan Security Innovation, menemukan bahwa sinar laser dari pointer bisa mengganggu sistem navigasi sebuah autonomous car dan berakibat membahayakan penumpang di dalamnya. Yes, hacking a driveless car can be that easy.
I’m not against this breakthrough innovation. Tapi selama isu-isu besar di atas belum terjawab, autonomous car masih terlalu berbahaya untuk dipasarkan ke konsumen.
MIRAH PERTIWI
Autonomous car memang menjadi bahan menarik untuk film dan buku futuristik sejak dulu. Lihat saja serial Knight Rider yang tayang di Indonesia pada 1990-an (di Amerika sendiri sudah ada sejak awal 1980-an). Pontiac Firebird Trans Am bernama KITT yang bisa diajak ngobrol menjadi mobil idaman di era itu. Atau film yang lebih baru, Avengers: Age of Ultron di scene terakhir ketika Audi R8 mengiringi Tony Stark saat sedang bicara dengan Captain America.
Melihat fenomena ini, rasanya tak berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa autonomous car merupakan obsesi umum. Berbagai usaha telah dan masih terus dilakukan untuk mewujudkannya. Eksperimen pertama yang tercatat terjadi tahun 1925 di New York, Amerika Serikat. Beberapa manufaktur seperti BMW, Audi, Volvo dan Tesla juga mengembangkan teknologi driveless system yang diterapkan di mobil-mobil mereka dan telah mencobanya di jalan raya. Bahkan perusahaan search engine seperti Google dan Baidu juga tak mau ketinggalan.
Sebetulnya, kendaraan modern sekarang ini sudah menjalankan beberapa porsi autonomous vehicle; misalnya lewat penerapan teknologi crash-warning system, adaptive cruise control, lane-keeping system dan self-parking technology. Sebagai kendaraan driverless nantinya, teknologi ini menawarkan ragam peluang yang meningkatkan kualitas kehidupan sosial.
Dalam 10 tahun belakangan, eksperimen terhadap self-driving car memang semakin gencar. Tak hanya itu, Kinetik -perusahaan venture capital untuk bidang usaha teknologi- menggandeng Formula E untuk mengadakan Roborace, seri balapan mobil tanpa pengemudi, tahun depan. Rencananya, Roborace akan menjadi pembuka setiap balapan Formula E. Dengan kata lain, mobil-mobil tanpa pengemudi yang dilengkapi teknologi robotik dan AI (Artificial Intelligent) tersebut akan berlaga di sirkuit-sirkuit yang menantang. Kabarnya, kecepatannya bisa lebih dari 300 km/jam!
Denis Sverdlov, pendiri Kinetik dan Roborace mengatakan, “Roborace merupakan perayaan akan revolusi teknologi dan inovasi yang telah dicapai manusia sejauh ini. Inilah bukti bahwa teknologi robotik dan AI dapat hadir dalam kehidupan nyata.”
Pernyataan Sverdlov sepertinya benar. The future is here, autonomous car sudah di depan mata. Chris Urmson, project director program Self-Driving Car Google, mengatakan mobil ini kemungkinan akan diluncurkan antara tahun 2017-2020. Dengan hadirnya self-driving car, waktu Anda tak terbuang saat perjalanan meski dalam kondisi macet. Anda tetap bisa membuka laptop, berkomunikasi dengan klien dan kerabat, atau bahkan tidur. Dan yang terpenting, perjalanan Anda akan jauh lebih aman.
Kematian akibat kecelakaan jalan sebanyak 1,2 juta setiap tahun di seluruh dunia. Di Amerika sendiri, 94% kecelakaan disebabkan oleh kelalaian manusia. Jika mobil dikendarai dengan teknologi robotik dan AI, maka kita menihilkan human error dan menurunkan secara drastis tingkat kecelakaan. Autonomous car menawarkan begitu banyak keuntungan. Tak ada alasan untuk tidak merangkul teknologi itu dan menerapkannya di dunia nyata. Benarkah?
Secanggih apa pun sebuah robot, ia tetaplah mesin yang tak memiliki emosi maupun kompas moral. Apa yang terjadi jika autonomous car menghadapi situasi seperti Trolley Dillema?
Misalnya sebuah autonomous car melesat dalam kecepatan tinggi. Tiba-tiba muatan truk di hadapannya tumpah ke jalan. Di sebelah kiri ada mobil dan sebelah kanan terdapat motor. Bukan pilihan sulit bagi pengemudi manusia, mereka akan banting setir ke kiri karena peluang untuk selamat lebih besar bagi penumpang mobil ketimbang motor. Tapi bagaimana dengan pilihan program autonomous car yang tak punya pertimbangan moral?
Secara teori, mungkin saja driveless car dibekali serentetan instruksi sebagai pengganti kompas moral demi meminimalisir kerugian. Tapi tetap saja tak mungkin menyamai manusia karena begitu banyak variabel untuk mengambil satu keputusan, seperti latar belakang calon korban (Keluarga? Catatan kriminal? Kontribusi terhadap masyarakat?). Masalah tak berhenti di sini. Jika terjadi korban jiwa akibat keputusan yang diambil oleh autonomous car, siapakah yang bertanggung jawab di mata hukum?
Etika bukan satu-satunya concern. Isu perentasan juga bisa menjadi masalah besar mengingat mobil ini digerakkan oleh sistem komputer secara penuh. Jonathan Petit, pimpinan sebuah perusahaan kemanan Security Innovation, menemukan bahwa sinar laser dari pointer bisa mengganggu sistem navigasi sebuah autonomous car dan berakibat membahayakan penumpang di dalamnya. Yes, hacking a driveless car can be that easy.
I’m not against this breakthrough innovation. Tapi selama isu-isu besar di atas belum terjawab, autonomous car masih terlalu berbahaya untuk dipasarkan ke konsumen.
MIRAH PERTIWI
Featured Articles
- Latest
- Popular
Artikel yang mungkin menarik untuk Anda
Mobil Pilihan
- Latest
- Upcoming
- Popular
Updates
New cars
Drives
Review
Video
Hot Topics
Interview
Modification
Features
Community
Gear Up
Artikel Mobil dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Advisory Stories
- Road Test
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature