Oto Media Riding Di Himalaya: Pembuktian Royal Enfield di Jalur Ekstrem (Bagian 2)

  • 2022/08/aspal-bagus-dari-Pangong-Tso-ke-Leh-Copy.jpg
  • 2022/08/Chang-La-Pass-2-Copy.jpg
  • 2022/08/Genangan-Air-Copy.jpg
  • 2022/08/keindahan-Pagong-Tso-3-Copy.jpg
  • 2022/08/keindahan-Pagong-Tso-5-Copy.jpg
  • 2022/08/keindahan-Pagong-Tso-7-Copy.jpg
  • 2022/08/Moto-Himalaya-2022-Day-1-4-Copy.jpg
  • 2022/08/Moto-Himalaya-2022-Day-1-8-Copy.jpg
  • 2022/08/Moto-Himalaya-2022-Day-1-9-Copy.jpg
  • 2022/08/Moto-Himalaya-2022-Day-1-12-Copy.jpg

HIMALAYA, Carvaganza - Belum sempat recovery badan dari lelahnya petualangan hari pertama, kita dihadapkan oleh masalah baru. Kami semua diberi informasi kalau perjalanan selanjutnya menempuh jarak dua kali lipat lebih jauh. Sebab ada salah satu sungai yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan lantaran banjir. Pemimpin rombongan hanya berkata, “siapkan fisik kalian.” Penjelajahan di hari kedua dan ketiga sekaligus menjadi pembuktian betapa kuatnya Royal Enfield Himalayan dalam menaklukkan jalur ekstrem pegunungan Himalaya.

KEY TAKEAWAYS

  • Pada hari kedua, riders menempuh perjalanan dari Nubra Valley – Pangong Tso

    Jarak yang ditempuh lebih jauh dari seharusnya menjadi 240 km, dari semestinya 125 km.
  • Apa dua puncak tertinggi di Himalaya?

    Wari La Pass dan Chang La Pass.
  • DAY 2 (Nubra Valley – Pangong Tso) 17 Agustus 2022

    Ya, pengumuman tidak enak didengar itu muncul lepas makan malam di hari sebelumnya. Jarak yang harus kita tempuh sekira 240km. Padahal rute normal hanya 125km. Alhasil kita harus melewati dua puncak tertinggi pegunungan Himalaya. Wari La Pass dan Chang La Pass. Masing-masing punya ketinggian 5.312mdpl (17.427 ft) dan 5.391mdpl atau 17.688 ft.

    Apakah kami menjadi gugup? Ya. Apakah kami takut? Ya. Apakah kita berjuang? Ya, kami ingin melewati itu semua demi adrenalin dan endorfin.

    Semua orang segera bangun dan bersiap-siap. Pukul 07.00 semua peserta sudah mengemas peralatan ke motor sembari menikmati secangkir teh hangat. Tepat 08.30 seluruh anggota berangkat. Komposisi masih sama seperti kemarin. Konvoi mulai bergerak untuk perjalanan menuju Wari La Pass.

    Riding di Himalaya Desa Sakti

     

    Dari Nubra Valley kami mengambil rute Diskit - Khalsar – Agham. Sampai Agham tergolong jalur tarmac. Ada sedikit aspal rusak dan tambalan di beberapa tempat. Bagusnya posisi riding Himalayan cukup nyaman untuk postur tubuh saya. Padahal ia punya tinggi jok 800mm. Di lain sisi, jok lebar dengan busa tebal nan empuk membuat perjalanan yang keterlaluan ini tak begitu terasa.

    Posisi pijakan kaki juga tidak terlalu menekuk, maupun selonjor. Letaknya pas, membuat riding position sigap. Kala melintasi adimarga jahanam, cukup berdiri, paha menjepit tangki, motor mudah dikendalikan. Kemudi yang terbilang lebar juga sangat membantu dalam mengontrol si kuda besi.

    Dalam periode ini, sempat beberapa kali melewati trek yang sejajar dengan arus sungai. Alhasil sepatu dan celana bagian bawah basah. Airnya sangat dingin seperti es batu yang mencair kala menyentuh kaki. Berharap matahari cerah agar bagian yang lepek bisa kering.

    Lepas dari Agham, kami bertemu campuran aspal yang hancur. Ketinggian mulai naik sekitar satu kilometer, dan saat itulah pandangan berubah. Di jalur ini kita juga harus mengalah bila bertemu kendaraan militer perbatasan.

    Riding ke Himalaya Zenuar Yoga di Chang La Pass

     

    Rute menuju puncak sangat ekstrem, curam, berkabut dan permukaannya sangat buruk. Beruntung unit yang saya pakai masih dalam kondisi sehat. Melewati medan kasar tak perlu ragu. Suspensi depan teleskopik berdiameter as 41mm yang punya travel 200mm, rasanya empuk banget! Belakang pakai monosok dengan travel 180mm juga sangat membantu redaman. Ditambah ground clereance 220mm, membuat motor tak mudah mentok dengan bebatuan selama perjalanan.

    Mungkin bagi rider kurang berpengalaman, area ini sangat sulit dilintasi. Karena memang jalur off-road yang menyeramkan, bahkan untuk kendaraan besar diperlukan penggerak 4x4 atau setidaknya mesin berkapasitas besar. Bila takut ketinggian, menjauhlah dari sisi jalan. Sepanjang penjelajahan ini juga banyak ditemui tanah basah bahkan beberapa kali berlumpur. Mulai dari sini kita semua menurunkan gigi terendah. Dan itu bertahan hingga beberapa jam. FYI, jalur ini tidak bisa dilewati saat musim dingin.

    Longsoran batu dan tanah dapat terjadi kapan saja, terkadang dapat memblokir beberapa bagian jalan. Bahaya lainnya ada lapisan es yang mencair membasahi lintasan. Oh iya, tidak ada papan nama di sini. Hanya bendera warga lokal sebagai penanda arah.

    Rute menuju puncak semuanya berkerikil dan aspal pecah-pecah, dengan beberapa penyeberangan air karena salju yang mencair. Adimarga ini sangat menantang bahkan bisa menjadi ancaman bagi semua rider. Selama 15 kilometer terakhir hingga puncak Wari La Pass, kita semua merasa bahwa udara semakin tipis dan dingin yang mampu membuat jari menjadi kaku. Maklum, motor yang kami gunakan tidak ada pelindung tangan.

    Riding di Himalaya

    Kemampuan RE Himalayan di Medan Terjal

    Meski demikian, karakter long stroke dari Himalayan menjadi pembuktian di sini. Jalanan berbukit dan menanjak dengan mudah ditaklukan. Ia punya torsi yang besar sejak putaran rendah. Bahkan maksimumnya diraih hanya di 4.250 rpm dan limiter di 9.000 rpm saja. Efeknya bisa langsung dirasakan, tidak butuh buka gas dalam untuk menaklukkan tanjakan.

    Bahkan untuk melewati medan terjal, cukup pasang di gigi dua, motor ini masih bisa merambat naik. Menyalip kendaraan pun tidak perlu khawatir kehilangan momentum. Rasanya seperti naik mobil diesel. Tapi jangan berharap mesin dapat merespon cepat ketika selongsong gas dibuka mendadak. Aliran tenaga dan torsinya halus, merambat lambat karena putaran mesinnya rendah. Jadi harus punya tekad yang kuat dan kesabaran ekstra.

    Tantangan terus berlanjut dan semakin parah dalam 5 kilometer terakhir menuju Wari La Pass. Bahkan lebih berat dibanding saat ke Khardung La Pass. Di sini kita tidak dapat melihat satu pun jiwa atau apa pun buatan manusia. Ini adalah sesuatu yang belum pernah saya hadapi selama punya pengalaman touring.

    Hingga tiba saatnya di Wari La Pass setelah menempuh jarak 90km. Baru saja memakirkan motor di tepi, emotional complexity muncul begitu saja. Ya, perasaan, pikiran, perilaku, atau reaksi tak dapat diprediksi. Membingungkan dan tak karuan. Pikiran aneh pun berkecamuk di kepala. Saya seperti orang linglung. Kenapa saya melakukan ini? Kenapa saya bisa sampai di titik ini? Gila! saya bisa melakukan ini semua.

    Baca juga:  OTO Media Riding Di Himalaya: Kesulitan Bernafas dan Proses Aklimatisasi (BAGIAN 1)

    Riding di Himalaya Zenuar Yoga di Chang La Pass

     

    Apalagi ketika hujan salju. Seketika air mata itu turun. Mengucap syukur. Perjuangan yang sangat berat untuk sampai ke sini. Kadar oksigen tipis, sepatu basah, hingga udara dingin menusuk tulang. Tak tahu berapa derajat saat itu. Yang pasti udaranya dua kali lipat lebih menggigil dibanding saat di Khardung La Pass. Entahlah, padahal ia lebih rendah dibanding puncak yang kami lalui kemarin.

    Suasana hati seketika berubah, menunjukkan kompleksitas emosional lantaran bertepatan dengan ulang tahun negeri kami tercinta. Ya, saya dan Didi merayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 di salah satu jalanan tertinggi di dunia. Sesaat kemudian momentum itu saya manfaatkan dengan membentangkan bendera Merah Putih. “Ya Tuhan, perasaan apa ini. Tidak bisa dijelaskan,” ucapku saat itu.

    Selanjutnya kami sadar tak boleh tinggal terlalu lama di sini. Bisa berdampak buruk karena oksigen tipis dan suhu yang rendah. Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah terus bergerak. Mengambil beberapa video dan stok gambar, lalu kami dengan cepat turun. “Guys, on bike right now. Time it’s over. Hurry up,” teriak Arjay kepada seluruh peserta.

    Kejutan yang menyenangkan bagi kami, lepas dari Wari La Pass trek terus turun dan aspal yang bagus. Hanya beberapa kilometer saja sangat buruk. Pemandangannya juga sangat menakjubkan. Tubuh terasa melepaskan hormon bahagia.

    Riding di Himalaya Jalanan berbatu dan pasir tebal dari Pagong Tso ke Leh

     

    Sampai akhirnya kita kembali berkumpul di desa Sakti. Di sana kita istirahat sembari menikmati milk tea dan egg maggie khas masyarakat lokal. Lepas dari situ kami melanjutkan touring kembali. Ternyata perasaan menyenangkan itu tidak berlangsung lama. Kami kembali dihadapkan dengan kontur off-road.

    Dari terakhir kami istirahat, buat sampai ke Chang La Pass jaraknya cuma 34km. Jalurnya tetap keriting dan medan terjal serta berbatu. Ini sedikit lebih ringan dibanding dari Agham ke Wari La Pass. Namun saat kami naik lebih dekat ke Chang La Pass, medannya menjadi buruk dan pendakiannya sangat mengerikan dengan tingkat kecuraman tinggi. Tapi pada akhirnya kita mencapai puncak.

    Angin dingin masih sangat kencang di atas sana dan latar belakang masih dengan gunung berpucuk putih. Tidak ada kemacetan, jadi semua orang bisa mengambil gambar sesuka hati. Namun bagi saya tak ada waktu untuk turun dari motor buat mengabadikan gambar. Tubuh ini sudah letih, tak ada lagi tenaga.

    Belum lagi masih dengan masalah yang sama, kepala pusing dan sedikit mual. Memang, kebanyakan orang merasakan penyakit ketinggian di sekitar 2.500-2.800 meter. Ya, di sini seperti Khardung La Pass, pasokan oksigen terbatas. Chang La Pass menjadi puncak ketiga dari petualangan yang membanggakan ini. Ia berada di ketinggian 5.391mdpl atau 17.688 ft.

    Saat kami turun dari Chang La Pass, kondisi trek masih sangat jelek, melewati lembah dan perbukitan. Jalur mendaki dan menurun menyusuri lekuk-lekuk jalan pegunungan yang cukup sempit. Sisi kiri tampak tebing curam berbatu di bawahnya. Sementara melihat bagian lainya lebih mengerikan lagi. Sempat ada pikiran, bagaimana kalau tiba-tiba bebatuan besar di ketinggian bibir tebing itu longsor dan menimpa kami.

    Namun dibalik itu semua, keseruan mengunjungi Pangong Tso ini sangat dirindukan oleh sebagian besar dari kita. Ketika jarak sudah semakin dekat titik finish, Arjay melakukan regroup. Rombongan terpecah. Sebab rute yang dilalui cukup sulit. Ada medan berbatu dan debu yang sangat tebal.

    Hari mulai gelap. Tak ada penerangan jalan. Saya dan Didi hanya bisa mengikuti irama berkendara dari Arjay. Hampir sejauh 15km kami tak bisa melihat apa-apa. Dan pada akhirnya kita tiba di penginapan Mann Village Pangong Tso pada pukul 20.00 waktu setempat. Sayang lanskap keindahan tepi danau Pangong tak bisa kami nikmati. Karena itu tadi, perjalanan dua kali lipat lebih jauh. Otomatis waktu tempuh lebih lama. Dan jarak estimasi yang tadi 240km, nyatanya mencapai 252km. Melelahkan! (ZENUAR YOGA/EK)

    Baca juga:  Perjalanan Menantang Samarinda - Balikpapan Bersama All New Honda BR-V (BAGIAN 1)

    Featured Articles

    Read All

    Artikel yang mungkin menarik untuk Anda

    Mobil Pilihan

    • Upcoming

    Updates

    Artikel lainnya

    New cars

    Artikel lainnya

    Drives

    Artikel lainnya

    Review

    Artikel lainnya

    Video

    Artikel lainnya

    Hot Topics

    Artikel lainnya

    Interview

    Artikel lainnya

    Modification

    Artikel lainnya

    Features

    Artikel lainnya

    Community

    Artikel lainnya

    Gear Up

    Artikel lainnya

    Artikel Mobil dari Oto

    • Berita
    • Artikel Feature
    • Advisory Stories
    • Road Test

    Artikel Mobil dari Zigwheels

    • Motovaganza
    • Tips
    • Review
    • Artikel Feature