Bioetanol dan Masa Depan Energi Bersih: Fakta, Tantangan, dan Kesiapan Industri Otomotif Indonesia
Bioetanol siklus karbonnya lebih bersih, menghasilkan emisi lebih rendah, serta dapat diproduksi dari sumber daya terbarukan yang melimpah di Indonesia.
JAKARTA, Carvaganza - Dalam upaya global menuju transisi energi bersih dan pengurangan jejak karbon, Indonesia mulai mengambil langkah penting dengan menyiapkan bahan bakar nabati (biofuel), terutama bensin dengan campuran etanol. Langkah ini bukan sekadar inovasi di sektor energi nasional, tetapi juga menandai kemajuan menuju target keberlanjutan lingkungan yang telah lama dicanangkan.
KEY TAKEAWAYS
Apakah bioetanol bisa menyebabkan korosi pada mesin kendaraan?
Tidak. Menurut pakar, bioetanol yang digunakan sesuai standar tidak menyebabkan korosi, terutama pada kendaraan modern yang sudah dirancang kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol.Apa tantangan utama penerapan bioetanol di Indonesia?
Tantangan terbesar adalah kesiapan industri lokal, biaya produksi yang tinggi, serta kebutuhan akan roadmap dan regulasi yang jelas agar tidak bergantung pada impor etanol.Namun, di tengah komunikasi publik yang kurang konsisten dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penyedia bahan bakar, manfaat serta keunggulan bioetanol justru tertutupi oleh berbagai kekhawatiran. Melihat hal tersebut, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) merasa perlu memberikan edukasi publik mengenai biofuel. Sebagai salah satu pemain besar industri otomotif di Tanah Air, Toyota memastikan kesiapan produknya jika bahan bakar nabati resmi diterapkan di masa mendatang.
Dalam kegiatan bersama media nasional, Toyota menghadirkan dua praktisi dan peneliti terkemuka: Ronny Purwadi, dosen Teknik Kimia dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Iman K. Reksowardojo, Chairman of Indonesian Society Fuel Engineers sekaligus Ketua Senat Universitas Pertamina. Keduanya dikenal aktif meneliti bahan bakar alternatif dan berkontribusi pada regulasi internasional mengenai biofuel.
Foto: Ragam Sumber
Awal Mula dan Perjalanan Bioetanol
Bioetanol sebenarnya bukanlah konsep baru dalam dunia otomotif. Sejarah mencatat bahwa Ford Model T di awal abad ke-20 sudah menggunakan etanol sebagai bahan bakar alternatif, atau yang dikenal dengan sebutan flexi fuel.
“Tapi seiring berjalannya waktu, penemuan bahan bakar fosil, juga kepopulerannya, membuat bahan bakar etanol menjadi lebih mahal. Ini digantikan dengan bahan bakar fosil yang berlanjut hingga saat ini,” ujar Ronny.
Baca Juga: Toyota dan Lexus Serbu JMS 2025 Lewat Tiga Konsep Revolusioner
Ia menambahkan, krisis energi pada tahun 1970-an yang menyebabkan lonjakan harga minyak membuat banyak negara kembali menoleh ke biofuel. Swedia dan Brazil menjadi contoh sukses, di mana Brazil bahkan menggunakan etanol murni (E100) dari tebu sebagai bahan bakar utama, berkat dukungan kuat pemerintahnya.
“Tapi kondisi ini juga yang memperlihatkan isu biofuel selalu naik turun. Misal saat bahan bakar minyak mahal, orang-orang berbondong melirik biofuel. Saat harga BBM fosil turun, keberadaannya dilupakan,” lanjut Ronny.
Upaya Mencapai Target Emisi Nasional
Dalam konteks Indonesia, upaya menekan emisi gas rumah kaca menjadi prioritas. Salah satu langkahnya adalah dengan memperluas penggunaan bahan bakar alternatif seperti bioetanol. Menurut Ronny, bahan bakar ini memiliki siklus karbon yang lebih ramah lingkungan karena karbon dioksida hasil pembakarannya dapat diserap kembali oleh tanaman bahan baku etanol.
“Misal bicara target emisi Indonesia beberapa tahun ke depan, penggunaan dengan biofuel lebih masuk akal. Saat ini yang sudah berjalan adalah biodiesel, sayangnya konsumsi diesel itu tidak sebanyak bensin,” jelas Ronny.
Foto: Toyota
Etanol juga memiliki sejumlah karakteristik penting: cair, tidak berwarna, memiliki bau alkohol khas, serta nilai oktan tinggi antara 108–113. Selain itu, bahan ini tidak meninggalkan residu karbon dan tergolong tidak beracun.
Mengurai Mitos dan Kekhawatiran Masyarakat
Salah satu isu yang banyak diperbincangkan publik adalah potensi korosi akibat sifat higroskopis etanol. Ronny menegaskan bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ia menjelaskan, korosi terjadi bukan semata karena air, melainkan tergantung pada material penyimpanan dan sistem bahan bakar kendaraan.
“Ini tidak terekspor sehingga orang berpikir sifat higroskopis etanol menyebabkan korosi. Belum tentu… Jika kendaraan sudah dibuat untuk menerima bioetanol, pasti tidak masalah,” kata Ronny.
Iman Reksowardojo menambahkan bahwa kendaraan modern, terutama yang diproduksi setelah tahun 2000 sudah dirancang untuk kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol seperti E10.

“Harusnya masyarakat tidak perlu khawatir. Kendaraan baru tidak masalah karena sudah dirancang untuk itu,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan, kendaraan lama pun masih bisa beradaptasi dengan sedikit penyesuaian seperti pengaturan pengapian atau penggantian gasket, serta pemakaian material pompa bahan bakar yang tahan etanol.
Kesiapan dan Tantangan Transisi
Meski potensinya besar, kedua pakar sepakat bahwa Indonesia belum siap menerapkan bioetanol secara masif dalam waktu dekat. “Penerapan E10 adalah langkah yang baik guna membantu menekan emisi, namun harus diiringi dengan penataan yang rapi. Salah satu sorotan adalah industri etanol yang diharapkan tidak bergantung pada impor,” ungkap Ronny.
Ia menjelaskan, biaya produksi etanol cukup tinggi, sementara pasokan dalam negeri masih terbatas. Bila penerapan E10 dilakukan secara tergesa-gesa, dikhawatirkan kebutuhan nasional justru akan ditutup dengan etanol impor yang lebih murah, sehingga merugikan industri lokal.
Baca Juga: Porsche Gelar Open House di Jakarta, Konsumen Bisa Lihat Penggantian Baterai EV
Iman menambahkan, kunci kesuksesan terletak pada roadmap nasional yang realistis dan konsisten, disertai insentif fiskal yang mendukung pertumbuhan industri bioetanol di dalam negeri. “Jangan tiba-tiba langsung E10. Butuh waktu, insentif fiskal, dan regulasi mendukung,” tegasnya.
Perspektif Industri Otomotif
Dari sisi produsen kendaraan, Toyota mengonfirmasi bahwa mayoritas mobil produksinya sudah siap menggunakan bahan bakar dengan campuran etanol.
“Kendaraan itu kan produk global. Di beberapa negara memang sudah isi etanol sehingga kendaraannya sudah siap untuk itu. Toyota sendiri yang di atas 2015 atau 2010 bisa E10, beberapa bahkan sampai E20,” jelas Bob Azam, Wakil Presiden Direktur TMMIN.
Di Jepang bahkan telah tersedia model dengan kemampuan Flexi Fuel penuh, menggunakan etanol hingga 100 persen. Untuk pasar Indonesia, beberapa model seperti Kijang Innova Zenix Hybrid sudah mendukung penggunaan bahan bakar E10, yang tertera langsung dalam buku panduan pengguna.
Toyota Kijang Innova Zenix BEV BioethanolFoto: CV / Wahyu
Menuju Masa Depan Energi yang Berkelanjutan
Berdasarkan pandangan para ahli dan pelaku industri, bioetanol menjadi salah satu solusi penting untuk mendekarbonisasi sektor transportasi berbasis bensin. Namun, kesuksesannya bergantung pada komunikasi publik yang transparan, peta jalan yang terukur, dan dukungan kebijakan fiskal yang kuat agar industri bioetanol dalam negeri tumbuh mandiri.
Dengan perencanaan matang serta kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan industri, Indonesia berpotensi besar menjadi salah satu negara terdepan dalam penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar berkelanjutan.
(SETYO ADI / WH)
Baca Juga:
Kinerja Ekspor dan Elektrifikasi Toyota Berbuah Primaniyarta Lifetime Achievement
TEST DRIVE: GWM Ora 03, Hatchback EV Nyentrik Untuk Jiwa Ekspresif
Konsumen Daihatsu Sukses Bawa Pulang Mobil Modifikasi Ayla dan Gran Max
Featured Articles
- Latest
- Popular
Artikel yang mungkin menarik untuk Anda
Mobil Toyota Pilihan
- Latest
- Upcoming
- Popular
Updates
New cars
Drives
Review
Video
Hot Topics
Interview
Modification
Features
Community
Gear Up
Artikel Mobil dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Road Test
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Review
- Artikel Feature